Sistem pendidikan Indonesia masih jauh dari posisi atas. Menurut
laporan Program for International Student Assessment (PISA), program yang
mengurutkan kualitas sistem pendidikan di 72 negara, Indonesia menduduki
peringkat 62 pada tahun 2015. Dua tahun sebelumnya (PISA 2013), Indonesia
menduduki peringkat kedua dari bawah atau peringkat 71.
Tidak seperti negara-negara di peringkat atas, sistem pendidikan
di Indonesia belum menerapkan metode pembelajaran yang menuntun para peserta
didiknya untuk memiliki kemampuan berpikir Computational Thinking (CT). Metode
pembelajaran Computational Thinking adalah metode pembelajaran yang menuntut
siswa untuk memikirkan problem solving secara terstruktur, kritis dan
logis.
Kemampuan berpikir seperti itu sangat diperlukan agar bisa
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.
Untuk memecahkan problematika tersebut, tiga mahasiswa Fakultas
Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya (FILKOM UB) membuat sebuah permainan
Algorithm for Life Kids (GORLIDS) untuk anak usia 4 - 6 tahun yang berfungsi
memunculkan sifat berpikir CT.
Mereka adalah Azifatul Istna Hanifah (Sistem Informasi/2016),
Diva Fardiana Risa (Teknik Informatika/2016), dan Muhammad Syarifuddin
(Pendidikan Teknologi Informasi/2017).
Pemilihan usia 4 - 6 tahun untuk penerapan permainan berdasarkan
Piaget Teori yang mengungkapkan bahwa anak usia 4 - 6 tahun berada dalam
tahap praoperasional di mana anak masih berpikir konkret.
"Jika diterapkan hal yang positif pada anak usia tersebut,
maka anak-anak akan bertumbuh dengan cara berpikir alamiah," ujar
Syarifuddin.
Dengan kata lain, nilai-nilai dan cara berpikir yang ditanamkan
akan menjadi default cara berpikir anak dan menjadi kebiasaan yang akan
dilakukan secara otomatis tanpa memerlukan waktu berpikir panjang.
Penelitian dalam penerapan GORLIDS tersebut dilakukan
Syarifuddin beserta tim dengan menggunakan metode True Design Experimental
yaitu metode yang mengetahui sebab dan akibat dari suatu tindakan.
Hal pertama yang dilakukan tim tersebut adalah menentukan
sasaran yaitu peserta didik di Taman Kanak-Kanak (TK) Cempaka dan TK Brawijaya
Smart School (BSS).
Kemudian tim mempelajari kondisi CT anak melalui wawancara
dengan empat guru di kedua TK tersebut dan melakukan observasi secara langsung
untuk membandingkan hasil ulasan guru TK dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Dari kegiatan tersebut diketahui tingkat berpikir CT siswa kedua
TK tersebut masih kurang. Penelitian Syarifuddin tersebut dilakukan dengan
mengujicobakan permainan GORLIDS, yaitu anak akan menyusun sebuah potongan
puzzle secara acak.
Dalam hal ini anak menerima tiga tahapan bermain
GORLIDS. Pertama tahap PreTest, yaitu anak diberi kesempatan bermain
sesuka mereka hingga GORLIDS tersusun dengan benar.
"Tahap kedua anak akan diberi Treatment Test, yang mana
anak akan diberi arahan cara menyelesaikan puzzle dengan berpikir Computational
Thinking, yaitu menyendirikan potongan yang mempunyai warna sama, menyusun
puzzle dari tepi-tepi, membagi tugas dengan temannya, sabar untuk menyesaikan
permainan, jika menghadapi kesulitan bertanya pada teman yang sudah selesai,
tenang dan tetap fokus," lanjutnya.
Tahap ketiga PosTest, yaitu tahap dimana anak akan bermain
GORLIDS sekali lagi dengan menerapkan treatment yang diberikan peneliti.
Hasil dari penelitian tersebut, anak dapat menyesaikan GORLIDS
dengan terstruktur, kritis dan logis sesuai dengan treatment dan indikator yang
dibuat peneliti.
Didapatkan hasil PreTest bermain GORLIDS untuk 2 TK dengan 62
siswa, sebanyak 30% anank berpikir problem solving, 39% berpikir terstruktur,
55% berpikir kritis dan 43% berpikir logis.
Sedangkan jika dibandingkan dengan hasil PosTest tercatat lebih
banyak anak yang berpikir problem solving, terstruktur dan logis. Dimana hasil
postest sebanyak 84 % anak berpikir problem solving, 80% berpikir terstruktur,
86% berpikir kritis dan 77% berpikir logis.
Sehingga kenaikan berfikir CT dari keselurahan indikator sebesar
40%.
"Hal tersebut membuktikan bahwa permainan GORLIDS dengan
metode True Design Experimental dapat memunculkan sifat berfikir Computational
Thinking, sehingga dapat meningkatkan kualitas berpikir SDM," tukasnya
kemudian.
Untuk diketahui, hasil penelitian sosial humaniora Syarifuddin
beserta tim ini telah lolos pendanaan DIKTI pada Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) 2018 didanai tahun 2019.
Kini Syarifuddin telah menyelesaikan penelitiannya tersebut dan
masih berjuang untuk bisa lolos menjadi yang terbaik dalam ajang Pekan Ilmiah
Mahasiswa (PIMNAS) 2019 yang tahap monitoring dan evaluasi (monev) internalnya
akan diselenggarakan bulan Juni 2019 dan monev eksternalnya pada bulan Juli
2019 mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar